Friday, January 25, 2013

Pengertian, Konsep, dan Tipe Pendekatan Kepemimpinan


Pengertian kepemimpinan adalah faktor kunci dalam suksesnya suatu organisasi serta manajemen. Kepemimpinan adalah entitas yang mengarahkan kerja para anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan yang baik diyakini mampu mengikat, mengharmonisasi, serta mendorong potensi sumber daya organisasi agar dapat bersaing secara baik.
Konsep kepemimpinan telah banyak ditawarkan para penulis di bidang organisasi dan manajemen. Kepemimpinan tentu saja mengkaitkan aspek individual seorang pemimpin dengan konteks situasi di mana pemimpin tersebut menerapkan kepemimpinan.  Kepemimpinan juga memiliki sifat kolektif dalam arti segala perilaku yang diterapkan seorang pimpinan akan memiliki dampak luas bukan bagi dirinya sendiri melainkan seluruh anggota organisasi.
Sebelum memasuki materi kepemimpinan, perlu terlebih dahulu dibedakan konsep pemimpin (leader) dengan kepemimpinan (leadership). Pemimpin adalah individu yang mampu mempengaruhi anggota kelompok atau organisasi guna mendorong kelompok atau organisasi tersebut mencapai tujuan-tujuannya. Pemimpin menunjuk pada personal atau individu spesifik atau kata benda. Sementara itu, kepemimpinan adalah sifat penerapan pengaruh oleh seorang anggota kelompok atau organisasi terhadap anggota lainnya guna mendorong kelompok atau organisasi mencapai tujuan-tujuannya. 
Definisi Kepemimpinan
Cukup banyak definisi kepemimpinan yang ditawarkan para ahli di bidang organisasi dan manajemen. Masing-masing memiliki perspektif dan metodelogi pembuatan definisi yang cukup berbeda, bergantung pada pendekatan (epistemologi) yang mereka bangun guna menyelidiki fenomena kepemimpinan.
Stephen Robbins, misalnya mendefinisikan kepemimpinan sebagai “ ... the ability to influence a group toward the achievement of goals.[1] Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok guna mencapai serangkaian tujuan. Kata “kemampuan”, “pengaruh” dan “kelompok” adalah konsep kunci dari definisi Robbins.
Definsi lain, yang cukup sederhana, diajukan oleh Laurie J. Mullins.[2] Menurut Mullins, kepemimpinan adalah “ ... a relationship through which one person influences the behaviour or actions of other people.” Definisi Mullins menekankan pada konsep “hubungan” yang melaluinya seseorang mempengaruhi perilaku atau tindakan orang lain. Kepemimpinan dalam definisi yang demikian dapat berlaku baik di organisasi formal, informal, ataupun nonformal. Asalkan terbentuk kelompok, maka kepemimpinan hadir guna mengarahkan kelompok tersebut.
Definisi kepemimpinan yang agak berbeda dikemukakan oleh Robert N. Lussier dan Christopher F. Achua.[3] Menurut mereka, kepemimpinan adalah “... the influencing process of leaders and followers to achieve organizational objectives through change.” Bagi Lussier and Achua, proses mempengaruhi tidak hanya dari pemimpin kepada pengikut atau satu arah melainkan timbal balik atau dua arah. Pengikut yang baik juga dapat saja memunculkan kepemimpinan dengan mengikuti kepemimpinan yang ada dan pada derajat tertentu memberikan umpan balik kepada pemimpin. Pengaruh adalah proses pemimpin mengkomunikasikan gagasan, memperoleh penerimaan atas gagasan, dan memotivasi pengikut untuk mendukung serta melaksanakan gagasan tersebut lewat “perubahan.” 
Definisi kepemimpinan juga diajukan Yukl, yang menurutnya adalah “ ... the process of influencing others to understand and agree about what needs to be done and how to do it, and the process of facilitating individual and collective efforts to accomplish shared objectives.”[4] [“... proses mempengaruhi orang lain agar mampu memahami serta menyetujui apa yang harus dilakukan sekaligus bagaimana melakukannya, termasuk pula proses memfasilitasi upaya individu atau kelompok dalam memenuhi tujuan bersama.”]
Definisi kepemimpinan, cukup singkat, diajukan Peter G. Northouse yaitu “ ... is a process whereby an individual influences a group of individuals to achieve a common goal.”[5] [“ ... adalah proses dalam mana seorang individu mempengaruhi sekelompok individu guna mencapai tujuan bersama.”] Lewat definisi singkat ini, Northouse menggarisbawahi sejumlah konsep penting dalam definisi kepemimpinan yaitu:
  1. kepemimpinan merupakan sebuah proses;
  2. kepemimpinan melibatkan pengaruh;
  3. kepemimpinan muncul di dalam kelompok;
  4. kepemimpinan melibatkan tujuan bersama.
Pendekatan dalam Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah suatu konsep yang kompleks sehingga para ahli mengkaji masalah ini dari aneka sisi. Masing-masing sisi memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Sebagai contoh, penulis seperti Peter G. Northouse membagi pendekatan kepemimpinan menjadi:
  1. Pendekatan Sifat (Trait);
  2. Pendekatan Keahlian (Skill);
  3. Pendekatan Gaya (Style);
  4. Pendekatan Situasional;
  5. Pendekatan Kontijensi;
  6. Teori Path-Goal;
  7. Teori Pertukaran Leader-Member;
  8. Pendekatan Transformasional;
  9. Pendekatan Otentik;
  10. Pendekatan Tim;
  11. Pendekatan Psikodinamik.

Pendekatan Sifat (Trait Approach atau Quality Approach)
Pendekatan sifat termasuk pendekatan kepemimpinan yang paling tua. Pendekatan sifatmenganggap pemimpin itu dilahirkan (given) bukan dilatih atau diasah. Kepemimpinan terdiri atas atribut tertentu yang melekat pada diri pemimpin, atau sifat personal, yang membedakan pemimpin dari pengikutnya. Sebab itu, pendekatan sifat juga disebut teori kepemimpinan orang-orang besar. Lebih jauh, pendekatan ini juga membedakan antara pemimpin yang efektif dengan yang tidak efektif. Pendekatan ini dimulai tahun 1930-an dan hingga kini telah meliputi 300 riset. 
Fokus pendekatan sifat semata-mata pada pemimpin per se. Pemimpin berbeda dengan pengikut akibat ia punya sejumlah sifat kualitatif yang tidak dimiliki pengikut pada umumnya. Setelah merangkum studi yang dilakukan oleh Ralph Melvin Stogdill (1948), Mann (1959), Stogdill (1974), Lord, DeVader, and Alliger (1986), Kirkpatrick and Locke (1991) dan Zaccaro, Kemp, and Bader (2004), Peter G. Northouse menyimpulkan sifat-sifat yang melekat pada diri seorang pemimpin yang melakukan kepemimpinan (menurutpendekatan sifat) adalah sifat-sifat kualitatif berikut:
  1. Intelijensi – Pemimpin cenderung punya intelijensi dalam hal kemampuan bicara, menafsir, dan bernalar yang lebih kuat ketimbang yang bukan pemimpin.
  2. Kepercayaan Diri – Kepercayaan diri adalah keyakinan akan kompetensi dan keahlian yang dimiliki, dan juga meliputi harga diri serta keyakinan diri.
  3. Determinasi – Determinasi adalah hasrat menyelesaikan pekerjaan yang meliputi ciri seperti berinisiatif, kegigihan, mempengaruhi, dan cenderung menyetir.
  4. Integritas – Integritas adalah kualitas kujujuran dan dapat dipercaya. Integritas membuat seorang pemimpin dapat dipercaya dan layak untuk diberi kepercayaan oleh para pengikutnya.
  5. Sosiabilitas – Sosiabilitas adalah kecenderungan pemimpin untuk menjalin hubungan yang menyenangkan. Pemimpin yang menunjukkan sosiabilitas cenderung bersahabat, ramah, sopan, bijaksana, dan diplomatis. Mereka sensitif terhadap kebutuhan orang lain dan menunjukkan perhatian atas kehidupan mereka.
Sementara itu, secara kuantitatif, pendekatan sifat memilah indikator kepemimpinan yang juga dikenal sebagai The Big Five Personality Factors sebagai berikut:
  1. Neurotisisme– Kecenderungan menjadi depresi, gelisah, tidak aman, mudah diserang, dan bermusuhan;
  2. Ekstraversi– Kecenderungan menjadi sosiabel dan tegas serta punya semangat positif;
  3. Keterbukaan– Kecenderungan menerima masukan, kreatif, berwawasan, dan punya rasa ingin tahu;
  4. Keramahan– Kecenderungan untuk menerima, menyesuaikan diri, bisa dipercaya, dan mengasuh; dan
  5. Kecermatan– Kecenderungan untuk teliti, terorganisir, terkendali, dapat diandalkan, dan bersifat menentukan.
Kelima faktor yang dapat dikuantifikasi di atas, lewat sejumlah riset, punya korelasi kuat dengan kepemimpinan-kepemimpinan tertentu di dalam organisasi.
Pendekatan Keahlian (Skills Approach)
Pendekatan Keahlian punya fokus yang sama dengan pendekatan sifat yaitu individu pemimpin. Bedanya, jika pendekatan sifat menekankan pada karakter personal pemimpin yang bersifat given by God, maka pendekatan keahlian menekankan pada keahlian dan kemampuan yang dapat dipelajari dan dikembangkan oleh siapapun yang ingin menjadi pemimpin organisasi. 
Jika pendekatan sifat mempertanyakan siapa saja yang mampu untuk menjadi pemimpin, maka pendekatan keahlian mempertanyakan apa yang harus diketahui untuk menjadi seorang pemimpin. Definisi pendekatan keahlian adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengetahuan dan kompetensi yang ada dalam dirinya untuk mencapai seperangkat tujuan. Keahlian, menurut pendekatan keahlian dapat dipelajari, dilatih, dan dikembangkan. 
Pendekatan Keahlian terbagi dua : (1) Keahlian Administratif Dasar, dan (2) Model Keahlian BaruKeahlian Administratif Dasar terdiri atas penguasaan dalam hal: Teknis, Manusia, dan Konseptual.
Keahlian Administratif Dasar. Kepemimpinan banyak didasari oleh tiga keahlian administrasi dasar yaitu: teknis, manusia, dan konseptual. Keahlian-keahlian ini berbeda sesuai sifat dan kualitas seorang pemimpin. 
1.  Keahlian Teknis. Keahlian ini merupakan pengetahuan mengenai dan kemahiran atas jenis pekerjaan tertentu. Keahlian ini meliputi kompetensi-kompetensi di area spesialisasi tertentu, kemampuan analitis, dan kemampuan menggunakan alat dan teknik yang tepat. Contoh, di perusahaan software komputer, keahlian teknis dapat meliputi pengetahuan bahasa program dan bagaimana memprogramnya, serta memastikan hasilnya dapat dimanfaatkan oleh para klien.
2.  Keahlian Manusia. Keahlian Manusia adalah pengetahuan mengenai dan kemampuan bekerja dengan orang lain. Keahlian ini beda dengan keahlian teknis, di mana keahlian manusia berorientasi manusia, sementara keahlian teknis berorientasi benda.
3.  Keahlian Konseptual. Keahlian konseptual adalah kemampuan untuk bekerja dengan gagasan-gagasan dan konsep-konsep. Jika keahlian teknis bicara tentang kerja dengan benda, keahlian manusia bicara tentang kerja dengan manusia, maka keahlian konseptual bicara tentang kerja dengan ide atau gagasan. Pemimpin yang punya keahlian konseptual merasa nyaman tatkala bicara tentang ide yang membentuk suatu organisasi dan dapat melibatkan diri ke dalamnya. Mereka mahir menempatkan tujuan organisasi ke dalam kata-kata yang bisa dipahami oleh para pengikutnya.
Model Keahlian Baru. Model Keahlian Baru dikenal juga dengan nama Model Kapabilitas. Model ini menguji hubungan antara pengetahuan dan keahlian seorang pemimpin dengan kinerja yang ditunjukkan oleh pemimpin tersebut dalam memimpin. 
Pendekatan Gaya Kepemimpinan
Pendekatan gaya kepemimpinan menekankan pada perilaku seorang pemimpin. Ia berbeda dengan pendekatan sifat yang menekankan pada karakteristik pribadi pemimpin, juga berbeda dengan pendekatan keahlian yang menekankan pada kemampuan administratif pemimpin. Pendekatan gaya kepemimpinan fokus pada apa benar-benar dilakukan oleh pemimpin dan bagaimana cara mereka bertindak. Pendekatan ini juga memperluas kajian kepemimpinan dengan bergerak ke arah tindakan-tindakan pemimpin terhadap anak buah di dalam aneka situasi.
Pendekatan ini menganggap kepemimpinan apapun selalu menunjukkan dua perilaku umum : (1) Perilaku Kerja, dan (2) Perilaku HubunganPerilaku kerja memfasilitasi tercapainya tujuan: Mereka membantu anggota kelompok mencapai tujuannya. Perilaku hubunganmembantu bawahan untuk merasa nyaman baik dengan diri sendiri, dengan orang lain, maupun dengan situasi dimana mereka berada. Tujuan utama pendekatan gaya kepemimpinan adalah menjelaskan bagaimana pemimpin mengkombinasikan kedua jenis perilaku (kerja dan hubungan) guna mempengaruhi bawahan dalam upayanya mencapai tujuan organisasi.
Pendekatan gaya kepemimpinan secara singkat direpresentasikan oleh tiga riset yang satu sama lain berbeda. Pertama, riset Ohio State University yang diadakan di akhir 1940-an lewat karya Stogdill (1948), yang memberi perhatian yang lebih dari sekadar sifat dalam mengkaji kepemimpinan. Kedua, riset yang diadakan di University of Michigan yang mengeksplorasi bagaimana kepemimpinan menjalankan fungsinya di dalam kelompok kecil.Ketiga, riset yang diawali oleh Blake dan Mouton di awal 1960-an yang mengeksplorasi bagaimana manajer menggunakan perilaku kerja dan hubungannya dalam konteks organisasi. 
1.    Riset di Ohio State University
Kelompok riset di Ohio State University yakin bahwa dengan memposisikan kepimpinan sebagai sifat personal akan kurang berhasil dalam menganalisis fenomena kepemimpinan. Kelompok ini memutuskan untuk menganalisis bagaimana individu bertindak tatkala mereka tengah memimpin suatu kelompok atau organisasi. Analisis dilakukan dengan menyuruh para bawahan mengisi kuesioner yang berisi kesan-kesan mereka atas pimpinannya. Dalam kuesioner, bawahan harus mengidentifikasi berapa kali pimpinan mereka melakukan jenis perilaku tertentu.
Kuesioner tersebut terdiri atas 1800 pertanyaan yang menggambarkan aneka aspek berbeda dari perilaku seorang pemimpin. Dari daftar panjang tersebut, diformulasikanlah 150 pertanyaan yang kemudian dikenal sebagai Leader Behavior Description Questionnaire (LBDQ). LBDQ diberikan kepada pada ratusan orang di bidang pendidikan, militer, dan industri, dan hasilnya menunjukkan bahwa kelompok perilaku tertentu adalah khas seorang pemimpin. Enam tahun kemudian, R.M. Stogdill mempublikasikan versi ringkas LBDQ yang disebut LBDQ-XII, yang menjadi kuesioner yang paling banyak digunakan dalam riset kepemimpinan.
Para peneliti menemukan bahwa tanggapan bawahan atas pimpinan dalam kuesioner yang mereka isi mengelompok pada dua tipe umum perilaku pimpinan. Pertama, struktur prakarsa yaitu sejauh mana seorang pemimpin mendefinisikan serta menentukan peran-peran para bawahan dalam rangka merancang dan memenuhi tujuan di area pertanggungjawabannya.[6] Gaya ini menekankan pengarahan kegiatan pekerja dalam tim ataupun individu lewat perencanaan, pengkomunikasian, penjadualan, penugasan pekerjaan, penekanan deadline, dan pemberian perintah. Pemimpin memelihara standard kinerja yang ketat dan berharap bawahan memenuhinya.
Dampak positif dari pemimpin yang mengaplikasikan Struktur Prakarsa atas produktivitas dan kepuasan kerja muncul tatkala : (1) penekanan yang tinggi atas hasil dilakukan oleh orang lain selain dari pemimpin; (2) pekerjaan memuaskan pekerja; (3) pekerja bergantung pada pemimpin atas informasi dan arahan seputar bagaimana menyelesaikan pekerjaan; (4) pekerja secara psikologis dapat dipengaruhi lewat pemberian instruksi seputar dalam hal apa saja yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya; dan (5) lebih dari 12 pekerja melapor secara intens kepada pemimpin.
Kedua, perilaku perhatian yang pada dasarnya sama dengan perilaku hubungan.Perilaku perhatian adalah sejauh mana pemimpin punya hubungan dengan bawahan yang dicirikan oleh sikap saling percaya, jalinan komunikasi dua arah, respek pada gagasan pekerja, dan empati atas perasaan mereka. Gaya ini menekankan pada pemuasan kebutuhan psikologis pekerja. Pemimpin umumnya menyediakan waktu untuk mendengar, berkeinginan melakukan perubahan nasib pekerja, mengupayakan kesejahteraan pribadi para pekerja, bersahabat, dan mudah didekati. Derajat perhatian yang tinggi ini mengindikasikan kedekatan psikologis antara pimpinan dan bawahan; derajat perhatian yang rendah menunjukkan jarak psikologis yang lebar dan pimpinan lebih impersonal (kurang manusiawi).
Dampak manfaat dari pemimpin yang menunjukkan perilaku perhatian atas produktivitas dan kepuasan kerja muncul tatkala (1) tugas bersifat rutin dan sedikit mengabaikan pekerja; (2) bawahan terpengaruh oleh kepemimpinan yang partisipatif; (3) anggota tim harus belajar sesuatu yang baru; (4) pekerja merasa keterlibatan mereka dalam proses pengambilan keputusan memperoleh dukungan dan berdampak atas hasil kinerja mereka; dan (5) pekerja merasa bahwa perbedaan status yang nyata antara mereka dengan pimpinan seharusnya tidak ada.
2.  Riset di University of Michigan
Titik tekan riset di University of Michigan adalah eksplorasi perilaku kepemimpinan, yang memberikan perhatian khusus utamanya pada dampak perilaku pemimpin atas kinerja suatu kelompok kecil.[7]
Riset di University of Michigan mengidentifikasi dua jenis perilaku kepemimpinan.Pertamaorientasi pekerja yaitu perilaku pemimpin yang mendekati bawahan dengan penekanan hubungan manusia yang kuat. Mereka menaruh perhatian pada pekerja sebagai makhluk hidup, menghargai individualitas mereka, dan memberi perhatian khusus atas kebutuhan pribadi mereka. Kedua, orientasi produksi, terdiri atas perilaku pemimpin yang menekankan pada aspek teknis dan produksi dari suatu pekerjaan. Dari orientasi ini, pekerja dilihat sebagai alat guna menyelesaikan pekerjaan. 
3. Blake and Mouton Grid (Kisi-kisi Blake dan Mouton)
Robert R. Blake and Jane S. Mouton tahun 1991 mengembangkan suatu grid (kisi-kisi) kepemimpinan guna menunjukkan bahwa pemimpin dapat membantu organisasi mencapai tujuannya lewat dua orientasi, yaitu : (1) Perhatian atas Produksi dan (2)Perhatian atas orang.[8] Kedua orientasi ini mencerminkan kembali perilaku kerja danperilaku hubungan seperti terjadi di riset Ohio State University.
Dengan menggunakan grid (kisi-kisi), Blake dan Mouton menciptakan 5 gaya kepemimpinan. Gaya-gaya tersebut adalah:[9]
Gambar 10 Kisi-kisi Gaya Kepemimpinan versi Blake and Mouton
1) Gaya Taat Otoritas (Authority-Compliance)
Gaya ini menggambarkan pemimpin yang dikendalikan oleh pencapaian hasil atau target, dengan sedikit atau bahkan tidak ada perhatian pada manusia kecuali dalam rangka keterlibatan mereka dalam menyelesaikan pekerjaan. Komunikasi pemimpin dengan pengikutnya terbatas dan diadakan sekadar untuk memberi instruksi pekerjaan. Pemimpin-pemimpin ini bercorak pengendali, pengarah, terlalu kuat, dan penuntut. Mereka bukan kolega kerja yang menyenangkan. Sejumlah penelitian menunjukkan tingkat keluar-masuk karyawan yang tinggi dengan gaya kepemimpinan semacam ini.
2) Gaya Country-Club
Gaya country-club menggambarkan pemimpin dengan perhatian tinggi pada orang tetapi rendah perhatiannya pada hasil atau produksi. Pemimpin ini fokus pada pemenuhan kebutuhan pekerja sebagai manusia dan penciptaan lingkungan yang kondusif dalam pekerjaan. Keluar-masuk karyawan menurun di bawah pemimpin bergaya ini.
3) Gaya Lemah (Impoverished Management)
Gaya lemah menggambarkan pimpinan yang punya sedikit perhatian baik atas orang ataupun produksi. Pemimpin bergaya ini berlaku sebagai pemimpin tetapi sesungguhnya terasing dan tidak melibatkan diri dalam organisasi. Pemimpin ini kerap punya sedikit hubungan dengan pengikut dan dapat saja dianggap tidak peduli, tidak tegas, pasrah, dan bersikap masa bodoh. Umumnya kita mengenalnya dengan laissez faire.
4)  Gaya Middle-of-the-Road (Gaya Jalan Tengah)
Gaya jalan tengah menggambarkan pemimpin yang kompromistik, yang punya perhatian menengah atas pekerjaan dan perhatian tengah atas orang-orang yang melakukan pekerjaan. Pemimpin menghindari konflik dan menekankan pada tingkat produksi serta hubungan personal yang moderat. Gaya kepemimpinan ini kerap digambarkan sebagai orang yang bijaksana, lebih suka berada di tengah, samar pendirian dalam minat atas kemajuan organisasi, dan sulit menyatakan ketidaksetujuannya di hadapan pekerja.
5) Gaya Manajemen Tim
Gaya manajemen tim memberi tekanan seimbang, baik pada pekerjaan ataupun hubungan antarpersonal. Gaya ini mendorong derajat partisipasi dan kerja tim yang tinggi di dalam organisasi sehingga mampu memuaskan kebutuhan dasar pekerja agar mereka tetap merasa terlibat dan punya komitmen kuat dalam pekerjaannya. Kata yang dapat menggambarkan pemimpin yang menerapkan gaya manajemen tim adalah : menstimulir, partisipatif, penentu tindakan, pembuka isu, penjelas prioritas, pembuat terobosan, bersikap terbuka, dan penikmat pekerjaan. 
6) Paternalistik/Maternalistik
Gaya manajemen tim mengintegrasikan perhatian tinggi atas pekerja sekaligus dan pekerjaan. Namun, mungkin pula ada pemimpin yang menerapkan secara sekaligus, baik perhatian tinggi pada orang maupun perhatian tinggi pada produksi, tetapi tidak dengan cara yang integratif. Pemimpin seperti ini berpindah dari gaya taat otoritas menjadi gaya country-club bergantung pada situasi. Mereka biasa disebutdiktator yang murah hati, karena mereka bertindak ramah pada pekerja hanya agar pekerjaan selesai, untuk kemudian berpindah kembali menjadi diktator yang sesungguhnya. Gaya ini disebut paternalistik/maternalistik, dan pemimpin bergaya ini melakukannya karena memandang pekerja tidak terkait dengan pencapaian tujuan organisasi. “Orang ya orang, kerjaan ya kerjaanBeda.”
7)       Oportunis
Gaya oportunis merujuk pada pemimpin yang secara oportunistik menggunakan aneka kombinasi dari 5 gaya “resmi” (nomor 1 s/d 5) guna meningkatkan karier mereka. 
Black and Mouton menandaskan bahwa pemimpin biasanya punya satu gaya yang dominan dan satu gaya cadangan. Pemimpin berpindah ke gaya cadangan tatkala gaya dominan tidak efektif dan mereka tengah berada di bawah tekanan berat. Guna meringkas ketiga riset yang telah dipaparkan, maka ada baiknya dimuat ikhtisar berupa taksonomi yang disusun oleh Rowe and Guerrero sebagai berikut:[10]
Tabel 6 Taksonomi Riset Gaya Kepemimpinan versi Rowe and Guerrero

Riset
Perilaku Kerja
Perilaku Hubungan
Ohio State University
Struktur Penyusunan
Pengorganisasian pekerjaan
Penentuan struktur kerja
Penentuan tanggung jawab
Penjadualan kegiatan
Perhatian
Pembangunan respek, kepercayaan, kesukaan, dan kesetiakawanan pemimpin dan pengikut 

University of Michigan
Orientasi Produksi
Penekanan aspek teknis
Penekanan aspek produksi
Pekerja dilihat sebagai alat agar pekerjaan selesai
Orientasi Pekerja
Pekerja dilihat lewat aspek hubungan manusia yang kuat
Pemimpin memperlakukan pekerja selaku makhluk hidup, menghargai individualitas pekerja, memberi perhatian pada kebutuhan pekerja
Blake dan Mouton
Perhatian atas Produksi
Penyelesaian tugas; Pembuatan keputusan; Pengembangan produk baru; Optimalisai proses; Maksimalisasi beban kerja; Peningkatan volume penjualan
Perhatian atas Manusia
Melayani orang; Membangun komitmen dan kepercayaan;
Mempromosikan nilai pribadi pekerja; Menyediakan kondisi kerja yang baik; Memelihara  upah/keuntungan yang adil; Mempromosikan hubungan sosial yang baik

Pendekatan Kepemimpinan Situasional
Pendekatan Situasional adalah pendekatan yang paling banyak dikenal. Pendekatan ini dikembangkan oleh Paul Hersey and Kenneth H. Blanchard tahun 1969 berdasarkan Teori Gaya Manajemen Tiga Dimensi karya William J. Reddin tahun 1967. Pendekatan kepemimpinan Situasional fokus pada fenomena kepemimpinan di dalam suatu situasi yang unik. Premis dari pendekatan ini adalah perbedaan situasi membutuhkan gaya kepemimpinan yang berbeda. Dari cara pandang ini, seorang pemimpin agar efektif harus mampu menyesuaikan gaya mereka terhadap tuntutan situasi yang berubah-ubah. 
Pendekatan kepemimpinan situasional menekankan bahwa kepemimpinan terdiri atasdimensi arahan dan dimensi dukungan. Setiap dimensi harus diterapkan secara tepat dengan memperhatikan situasi yang berkembang. Guna menentukan apa yang dibutuhkan oleh situasi khusus, pemimpin harus mengevaluasi pekerja mereka dan menilai seberapa kompeten dan besar komitmen pekerja atas pekerjaan yang diberikan. 
Dengan asumsi bahwa motivasi dan keahlian pekerja berbeda di setiap waktu,kepemimpinan situasional menyarankan pemimpin untuk mengubah tinggi-rendahnya derajat tatkala mengarahkan atau mendukung para pekerja dalam memenuhi kebutuhan bawahan yang juga berubah. Dalam pandangan kepemimpinan situasional, pemimpin yang efektif adalah mereka yang mampu mengenali apa yang dibutuhkan pekerja untuk kemudian (secara kreatif) menyesuaikan gaya mereka agar memenuhi kebutuhan pekerja tersebut. 
Kepemimpinan situasional menyediakan empat pilihan gaya kepemimpinan. Keempat gaya tersebut melibatkan aneka kombinasi dari Perilaku Kerja dengan Perilaku Hubungan.Perilaku Kerja meliputi penggunaan komunikasi satu-arah, pendiktean tugas, dan pemberitahuan pada pekerja seputar hal apa saja yang harus mereka lakukan, kapan, dan bagaimana melakukannya. Pemimpin yang efektif menggunakan tingkat perilaku kerja yang tinggi di sejumlah situasi dan hanya sekedarnya di situasi lain. 
Perilaku hubungan meliputi penggunaan komunikasi dua-arah, mendengar, memotivasi, melibatkan pengikut dalam proses pengambilan keputusan, serta memberikan dukungan emosional pada mereka. Perilaku hubungan juga diberlakukan secara berbeda di aneka situasi.
Dengan mengkombinasikan derajat tertentu perilaku kerja dan derajat tertentu perilaku hubungan, pemimpin yang efektif dapat memilih empat gaya kepemimpinan yang tersedia, yaitu:
  1. Pemberitahu
  2. Partisipatif
  3. Penjual
  4. Pendelegasi
Bagan dari keempat jenis gaya kepemimpinan situasional kami sampaikan pula.[11]
Gambar 11 Kuadran Gaya Kepemimpinan versi Hellriegel and Slocum
Menurut model ini, pemimpin harus mempertimbangkan situasi sebelum memutuskan gaya kepemimpinan mana yang hendak digunakan. Kontijensi situasional pada model adalah derajat Readiness (Kesiapan). Kesiapan adalah kemampuan pengikut untuk memahami tujuan organisasi yang berhubungan dengan pekerjaan secara maksimal tetapi mampu dicapai dan keinginan mereka untuk memikul tanggung jawab dalam pencapaian tugas tersebut.
Kesiapan bukanlah ciri yang tetap pada pengikut, melainkan bergantung pada pekerjaan. Pengikut yang ada di sebuah kelompok mungkin punya kesiapan yang tinggi untuk suatu pekerjaan, tetapi tidak dipekerjaan lainnya. Kesiapan  pengikut juga bergantung pada seberapa banyak pelatihan yang pernah diterima, seberapa besar komitmen mereka pada organisasi, seberapa besar kemampuan teknisnya, seberapa banyak pengalamannya, dan seterusnya. 
1. Gaya Telling (Pemberitahu)
Gaya Pemberitahu adalah gaya pemimpin yang selalu memberikan instruksi yang jelas, arahan yang rinci, serta mengawasi pekerjaan dari jarak dekat. Gaya Pemberitahumembantu untuk memastikan pekerja yang baru untuk menghasilkan kinerja yang maksimal, dan akan menyediakan fundasi solid bagi kepuasan dan kesuksesan mereka di masa datang.
2. Gaya Selling (Penjual)
Gaya Penjual adalah gaya pemimpin yang menyediakan pengarahan, mengupayakan komunikasi dua-arah, dan membantu membangun motivasi dan rasa percaya diri pekerja. Gaya ini muncul tatkala kesiapan pengikut dalam melakukan pekerjaan meningkat, sehingga pemimpin perlu terus menyediakan sikap membimbing akibat pekerja belum siap mengambil tanggung jawab penuh atas pekerjaan. Sebab itu, pemimpin perlu mulai menunjukkan perilaku dukungan guna memancing rasa percaya diri pekerja sambil terus memelihara antusiasme mereka.
3. Gaya Participating (Partisipatif)
Gaya Partisipatif adalah gaya pemimpin yang mendorong pekerja untuk saling berbagi gagasan dan sekaligus memfasilitasi pekerjaan bawahan dengan semangat yang mereka tunjukkan. Mereka mau membantu pada bawahan. Gaya ini muncul tatkala pengikut merasa percaya diri dalam melakukan pekerjaannya sehingga pemimpin tidak lagi terlalu bersikap sebagai pengarah. Pemimpin tetap memelihara komunikasi terbuka, tetapi kini melakukannya dengan cenderung untuk lebih menjadi pendengar yang baik serta siap membantu pengikutnya.
4. Gaya Delegating (Pendelegasi)
Gaya Pendelegasi adalah gaya pemimpin yang cenderung mengalihkan tanggung jawab atas proses pembuatan keputusan dan pelaksanaannya. Gaya ini muncul tatkala pekerja ada pada tingkat kesiapan tertinggi sehubungan dengan pekerjaannya. Gaya ini efektif karena pengikut dianggap telah kompeten dan termotivasi penuh untuk mengambil tanggung jawab atas pekerjaannya.
Pendekatan Teori Kepemimpinan Kontijensi (Ketidakpastian)
Teori Kontijensi dalam kajian kepemimpinan fokus pada interaksi antara variabel-variabel yang terlibat di dalam situasi serta pola-pola perilaku kepemimpinan. Teori Kontijensididasarkan atas keyakinan bahwa tidak ada satupun gaya kepemimpinan yang cocok bagi aneka situasi. [12]
Teori Kontijensi punya beberapa model, yang menurut Laurie J. Mullins terdiri atas:
  1. Model Kontijensi Fred Edward Fiedler yang menekankan pada Situasi Kepemimpinan yang Cocok;
  2. Model Kontijensi dari Victor Harold Vroom and Philip W. Yetton serta Victor Harold Vroom and Arthur G. Jago yang menekankan pada Kualitas dan Penerimaan atas Keputusan Pemimpin;
  3. Teori Path-Goal dari Robert J. House serta Robert J. House and Gary Dessler;
  4. Kedewasaan Pengikut dari Paul Hersey and Kenneth H. Blanchard.
Untuk Teori Path-Goal akan dibahas dalam sub bahasan tersendiri. 
1.     Model Kontijensi Fiedler
Model Kontijensi Fiedler menekankan pada teori kontijensi tentang efektivitas kepemimpinan. Model ini didasarkan atas studi-studi yang cukup luas seputar situasi-situasi yang dihadapi kelompok dalam organisasi. Konsentrasinya pada hubungan antara kepemimpinan dengan kinerja organisasi. Untuk mengukur sikap seorang pemimpin, Fiedler mengembangkan skala Least Preferred Co-worker (LPC). Skala ini mengukur rating yang diberikan atas para pemimpin oleh orang-orang yang bekerja sama dengannya. Khususnya, pertanyaan ini tertuju pada hal siapa di antara mereka paling bisa memimpin secara baik.
Kuesioner yang dikembangkan terdiri atas 20 item. Contoh dari item tersebut misalnyaMenyenangkan/Tidak MenyenangkanBersahabat/Tidak Bersahabat,Mendukung/Membuat FrustrasiJauh/DekatBekerja Sama/Tidak Bekerja Sama,Membosankan/MenarikTerbuka/Tertutup, dan sejenisnya.
Setiap item lalu diberi peringkat antara 1 hingga 8, dengan angka 8 mengindikasikanrating yang paling cocok. Contohnya skalanya sebagai berikut:
Skor LPC adalah total rating angka total seluruh item Least Preffered Co-worker. Semakin kecil rating LPC dan semakin cocok kepemimpinan dengan responden, maka semakin tinggi LPC skor seorang pemimpin. Interpretasi dari LPC adalah, pemimpin dengan skor LPC yang tinggi merupakan hasil dari hubungan personal yang memuaskan, yaitu saat hubungan dengan bawahan hendak ditingkatkan, pemimpin akan bertindak  secara suportif (mendukung), dengan cara yang penuh pertimbangan. 
Sebaliknya, pemimpin dengan skor LPC yang rendah mencirikan pemimpin yang lebih puas dengan kinerja bawahan dalam rangka mencapai tujuan dan melaksanakan tugas. Pemimpin jenis ini menempatkan pemberian motivasi sebagai prioritas kedua.
Bagi Fiedler, perilaku kepemimpinan merupakan variabel dependen (bergantung) atas kecocokannya dengan situasi kepemimpinan tertentu (variabel bebas). Terdapat 3 variabel yang menentukan kecocokan atas situasi yang mempengaruhi peran dan pengaruh pemimpin, yaitu:
  1. Hubungan Pemimpin-Anggota – yaitu hingga derajat mana pemimpin dipercaya dan disukai oleh anggota kelompok, serta keingin mereka mengikuti arahan pemimpin.
  2. Struktur Tugas – yaitu hingga derajat mana tugas diberikan pemimpin kepada anggota kelompok secara jelas, serta sejauh mana tugas tersebut disusun berdasarkan instruksi yang rinci dan adanya prosedur-prosedur standar.
  3. Kekuasaan Berdasar Posisi – kekuasaan pemimipin lewat posisinya dalam organisasi, serta hingga derajat mana pemimpin dapat menerapkan otoritas dalam hal pemberian reward dan punisment atau promosi serta demosi.
Lewat 3 variabel di atas, Fiedler lantas mengembangkan 8 gaya kepemimpinan berdasarkan model kontijensinya. Bagan lengkap Korelasi antara Skor LPC Pemimpin dengan Efektivitas Organisasi sebagai berikut:[13]

Gambar 12 Korelasi Skor LPC dengan Efektivitas Organisasi versi Fiedler
Tatkala situasi diperhitungkan sebagai:
  • Sangat Diinginkan (hubungan pemimpin-anggota baik, tugas terstruktur secara baik, kekuasaan berdasarkan posisi dalam kondisi kuat)
  • Sangat Tidak Diinginkan (hubungan pemimpin-anggota buruk, tugas tidak terstruktur, kekuasaan berdasarkan posisi dalam kondisi lemah)
  • Maka Pemimpin Berorientasi Pekerjaan (skor LPC rendah) disarankan mengambil gaya direktif (mengatur) dan mengendalikan akan ia lebih efektif dalam melakukan tindak kepemimpinan.
    Saat situasi diperhitungkan sebagai: 
    • Diinginkan Secara Moderat dan variabel-variabel berbaur.
      Pemimpin dengan orientasi hubungan interpersonal (skor LPC tinggi) maka pendekatan partisipatif akan lebih efektif. 
      Fiedler menyarankan, bahwa gaya kepemimpinan akan berbeda sepanjang situasi kepempimpinan yang dikehendaki adalah berbeda. Fiedler berdalih, efektivitas kepemimpinan dapat ditingkatkan dengan cara mengubah situasi kepemimpinan. Kekuasaan Berdasar PosisiStruktur Pekerjaan, dan Hubungan Pemimpin-Anggotadapat diubah guna membuat situasi lebih kompatibel (cocok) dengan karakteristik-karakteristik yang dimiliki pemimpin. 
      Pemimpin dengan skor LPC yang rendah dapat ditempatkan pada situasi kepemimpinan yang paling diinginkan atau paling tidak diinginkan. Pemimpin dengan skor LPC yang tinggi dapat ditempatkan dalam situasi kepemimpinan yang diinginkan secara moderat.
      2.     Model Kontijensi Vroom dan Yetton
      Model Kepemimpinan Kontijensi lainnya ditawarkan oleh Vroom dan Yetton. Mereka mendasarkan analisisnya pada 2 aspek keputusan pemimpin yaitu: (1) Kualitas, dan (2)Penerimaan, di mana kedua aspek tersebut didasarkan atas:
      • Kualitas Keputusan atau rasionalitas adalah keputusan yang berdampak pada kinerja kelompok.
      • Penerimaan atas keputusan mengacu pada motivasi dan komitmen anggota kelompok dalam melaksanakan hasil keputusan.
      • Waktu yang dibutuhkan untuk membuat keputusan.
      Melalui Model Kontijensi-nya, Vroom dan Yetton kemudian menawarkan 5 gaya keputusan manajemen, yaitu:
      1.        Otokratik
      -  Otokratik I : Pemimpin bekerja seorang diri baik dalam menyelesaikan masalah atau dalam membuat keputusan dengan mengandalkan informasi yang ada pada saat itu.
      -  Otokratik II : Pemimpin mengumpulkan informasi dari para bawahan tetapi memutuskan penyelesaikan masalah seorang diri. 
      2.        Konsultatif
      -  Konsultatif I : Masalah di-share secara individual dengan bawahan yang berkaitan dengan masalah. Pemimpin lantas membuat keputusan yang mencerminkan atau tidak mencerminkan pengaruh Bawahan.
      -  Konsultatif II : Masalah di-share dengan bawahan di secara berkelompok. Pemimpin lantas membuat keputusan yang mencerminkan atau tidak mencerminkan pengaruh kelompok bawahan yang diajak sharing.
      3.        Kelompok
      -   Kelompok II : Masalah dibagi dengan para bawahan dalam kelompok. Secara bersama, pemimpin dan bawahan menghasilkan dan mengevaluasi serangkaian alternatif dan mencapai konsensus masalah bersama kelompok-kelompok bawahan.
      3.        Model Kontijensi Vroom dan Jago
      Model Vroom and Yetton lalu direvisi lewat Model Vroom and Jago. Model Vroom andJago tetap berlandaskan pada 5 gaya kepemimpinan versi Vroom and Yetton, tetapi menambahkan 12 variabel kontijensi. Variabel kontijensi tersebut adalah:
      • Persyaratan Kualitas,
      • Persyaratan Komitmen,
      • Informasi Pemimpin,
      • Struktur Masalah,
      • Kemungkinan Komitmen,
      • Kongruensi Tujuan,
      • Konflik Bawahan,
      • Informasi Bawahan,
      • Batasan Waktu,
      • Perbedaan Geografis,
      • Waktu Motivasi, dan
      • Pengembangan Motivasi.
      Pendekatan Teori Path-Goal
      Teori Path-Goal sebagai salah satu pendekatan dalam kepemimpinan masih termasuk ke dalam kategori Pendekatan Kontijensi. Teori ini dikembangkan oleh Robert J. House serta Robert J. House and Gary Dessler.
      Teori ini mengajukan pendapat bahwa kinerja bawahan dipengaruhi oleh sejauh mana manajer mampu memuaskan harapan-harapan mereka. Teori Path-Goal menganggap bawahan memandang perilaku pemimpin sebagai pengaruh yang mampu memotivasi diri mereka, yang berarti: 
      • Kepuasan atas kebutuhan mereka bergantung atas kinerja efektif, dan
      • Arahan, bimbingan, pelatihan, dan dukungan yang diperlukan.
      Berdasarkan hal-hal tersebut, House mengidentifikasi 4 tipe perilaku kepemimpinan sebagai berikut:
      1. Kepempimpinan Direktif, melibatkan tindak pembiaran bawahan untuk tahu secara pasti apa yang diharapkan dari seorang pemimpin melalui proses pemberian arahan (direksi). Bawahan diharap mengikuti aturan dan kebijakan.
      2. Kepemimpinan Suportif, melibatkan cara yang bersahabat dan bersifat merangkul pemimpin atas bawahan dengan menampakkan perhatian atas kebutuhan dan kesejahteraan bawahan.
      3. Kepempimpinan Partisipatif, melibatkan diadakannya proses konsultatif dengan para bawahan serta kecenderungan menggunakan evaluasi yang berasal dari opini dan saran bawahan sebelum manajer membuat keputusan.
      4. Kepemimpinan Berorientasi Pencapaian, melibatkan perancangan tujuan yang menantang bagi para bawahan, mencari perbaikan atas kinerja mereka, dan menunjukkan keyakinan bahwa bawahan dapat melakukan kinerja secara baik.
      Teori Path-Goal menyatakan bahwa tipe perilaku kepemimpinan yang berbeda dapat dipraktekkan oleh orang yang sama di situasi yang berbeda. Perilaku Kepemimpinan dalam Teori Path-Goal ditentukan oleh dua faktor situasional yaitu: (1) Karakteristik Personal Bawahan dan (2) Sifat Pekerjaan.
      Karakteristik Personal Bawahan sangat menentukan bagaimana bawahan bereaksi terhadap perilaku pemimpin serta sejauh mana mereka melihat perilaku pemimpin tersebut sebagai sumber langsung dan potensial untuk memuaskan kebutuhan mereka. Sifat Pekerjaan berhubungan dengan sejauh mana pekerjaan bersifat rutin dan terstruktur, atau bersifat non rutin dan tidak terstruktur.
      Contoh, semakin terstruktur suatu pekerjaan, semakin tujuannya jelas, dan semakin terbangun rasa percaya diri bawahan, maka upaya untuk terus-menerus menjelaskan suatu pekerjaan atau pengarahan merupakan tindakan pemimpin yang tidak diharapkan oleh bawahan. Namun, tatkala pekerjaan tidak terstruktur secara baik, tujuan tidak jelas, dan bawahan kurang pengalaman, lalu gaya kepemimpinan yang bersifat direktif (pengarah) akan lebih diterima oleh para bawahan. 
      Perilaku kepemimpinan yang efektif didasarkan atas kehendak pemimpin untuk membantu bawahan dan kebutuhan bawahan untuk dibantu pemimpin. Perilaku kepemimpinan akan bersifat motivasional sejauh perilaku tersebut menyediakan arahan, bimbingan dan dukungan yang diperlukan bawahan,  mendorong hubungan path-goal secara lebih jelas, dan membuang tiap hambatan yang merintangi pencapaian tujuan. 
      Pendekatan Teori Pertukaran Leader-Member (Pemimpin-Anggota)
      Hingga sejauh ini, pendekatan-pendekatan kepemimpinan lebih tertuju pada Pemimpin (Pendekatan Sifat, Pendekatan Keahlian, dan Pendekatan Gaya) atau pada Pengikut dan Konteks Situasi (Pendekatan Situasional, Teori Kontijensi, dan Teori Path-Goal). TeoriLeader-Member Exchange (LMX Theory) berbeda.
      Teori LMX fokus pada interaksi antara Pemimpin dengan Pengikut. Teori ini termanifestasi dalam pola hubungan dyadic (berdasar 2 pihak) antara pemimpin dan pengikut sebagai fokus proses kepempimpinan.  Dalam interaksi pemimpin-pengikut, terdapat tiga fase interaksi, yang bagannya sebagai berikut:[14]
      Tabel 7 Fase Interaksi Pemimpin-Pengikut versi Northouse
      Fase
      Tahap 1
      Asing
      Tahap 2
      Perkenalan
      Tahap 3
      Persekutuan
      Peran
      Tertulis
      Pengujian
      Negosiasi
      Pengaruh
      Satu Arah
      Campuran
      Timbal Balik
      Pertukaran
      Kualitas Rendah
      Kualitas Moderat
      Kualitas Tinggi
      Kepentingan
      Diri Sendiri
      Diri Sendiri dan Orang Lain
      Kelompok

      Fase-fase tersebut adalah Fase Asing, Fase Perkenalan, dan Fase Persekutuan.
      Fase Asing. Pada fase ini interaksi dyad pemimpin-bawahan  umumnya terbangun lewat aturan formal organisasi atau kontrak pekerjaan yang telah ditandatangani. Pemimpin dan bawahannya berhubungan satu sama lain sesuai dengan peran-peran yang diharapkan oleh organisasi selaras dengan job description. Bawahan berhadapan dengan seorang pemimpin yang bersifat formal, yang secara hirarkis  statusnya berada di atas posisi mereka, dan tujuan di dalam diri bawahan sekadar memperoleh reward ekonomis dari kendali yang diterapkan pemimpin. Motif-motif bawahan selama Fase Asing diarahkan terhadap kepentingan diri mereka sendiri ketimbang kebaikan kelompok.
      Fase Perkenalan. Fase ini diawali adanya tawaran yang diajukan pemimpin atau bawahan untuk meningkatkan pertukaran sosial yang sifatnya career-oriented, yang bisa saja melibatkan saling berbagi sumber daya atau informasi. Fase ini merupakan fase pengujian, baik untuk pemimpin ataupun bawahan. Dari sisi bawahan, pengujian berkisar pada ketertarikan bawahan untuk mengambil peran dan tanggung jawab yang lebih. Dari sisi pemimpin, untuk menilai apakah ia mau menyediakan tantangan baru atas bawahan. 
      Selama fase ini, dyad beralih dari interaksi yang sekadar diatur lewat formalnya peraturan dan peran jabatan menuju cara berhubungan yang baru. Dyad yang berhasil dalam Fase Perkenalan diawali dengan terbangunnya kepercayaan dan respek yang lebih besar atas satu sama lain. Mereka mengurangi fokus atas kepentingan diri mereka sendiri dan beralih pada pencapaian tujuan kelompok.
      Fase Persekutuan. Fase ini ditandai dengan pertukaran Leader-Member yang berkualitas tinggi. Pihak-pihak yang masuk ke tahap ini menunjukkan hubungan yang didasarkan pada kesalingpercayaan, respek, dan rasa kewajiban satu sama lain. Mereka telah menguji hubungan mereka bangun dan menemukan situasi di mana mereka sesungguhnya dapat bergantung satu sama lain. 
      Studi yang dilakukan Chester A. Schriesheim, Stephanie L. Castro, Xiaohua Zhou, dan Francis J. Yammarino tahun 2001 atas 75 manajer bank dan 58 insinyur mesin, menunjukkan bahwa hubungan leader-member yang baik adalah tatkala mereka mulai lebih bersifat egalitarian. 
      Salah satu intrumen yang berupaya mengukur pertukaran Hubungan Leader-Member (LMX) disajikan oleh Richard L. Daft.[15] Contohnya seperti di sampaikan di bawah ini dengan modifikasi pada pemberian Skala Likert:
      Tabel 8 Instrumen LMX versi Daft

      Sebagai sesama manusia, saya menyukai atasan saya.
      1.SS 2.S 3.R 4.TS 5.STS
      Saat saya membuat kesalahan, atasan langsung saya membela saya bahkan di depan atasannya sendiri.
      1.SS 2.S 3.R 4.TS 5.STS
      Pekerjaan yang saya lakukan selalu melampaui apa yang sesungguhnya diinginkan atasan saya.
      1.SS 2.S 3.R 4.TS 5.STS
      Saya mengagumi pengetahuan profesional dan kemampuan atasan saya.
      1.SS 2.S 3.R 4.TS 5.STS
      Atasan saya adalah orang menyenangkan untuk diajak bekerja sama.
      1.SS 2.S 3.R 4.TS 5.STS
      Demi kepentingan kelompok saya bersedia bekerja secara maksimal.
      1.SS 2.S 3.R 4.TS 5.STS
      Atasan saya memuji pekerjaan saya dihadapan orang lain.
      1.SS 2.S 3.R 4.TS 5.STS
      Saya respek pada kemampuan manajemen atasan saya.
      1.SS 2.S 3.R 4.TS 5.STS
      Pendekatan Kepemimpinan Transformasional
      Pendekatan Kepemimpinan Transformasional awalnya digagas oleh James MacGregor Burns tahun 1978.[16] Ia membedakan 2 jenis kepemimpinan yaitu Kepemimpinan Transaksional dan lawannya, Kepemimpinan Transformasional. 
      Pemimpin bercorak transaksional adalah mereka yang memimpin lewat pertukaran sosial. Misalnya, politisi memimpin dengan cara “menukar satu hal dengan hal lain: pekerjaan dengan suara, atau subsidi dengan kontribusi kampanye. Pemimpin bisnis bercorak transaksional menawarkan reward finansial bagi produktivitas atau tidak memberi rewardatas kurangnya produktivitas. 
      Pemimpin bercorak transformasional adalah mereka yang merangsang dan mengispirasikan pengikutnya, baik untuk mencapai sesuatu yang tidak biasa dan, dalam prosesnya, mengembangkan kapasitas kepemimpinannya sendiri. Pemimpin transformasional membantu pengikutnya untuk berkembang dan membuat mereka jadi pemimpin baru dengan cara merespon kebutuhan-kebutuhan yang bersifat individual dari para pengikut. Mereka memberdayakan para pengikut dengan cara menselaraskan tujuan yang lebih besar individual para pengikut, pemimpin, kelompok, dan organisasi. 
      Kepemimpinan Transformasional dapat mengubah pengikut melebihi kinerja yang diharapkan, sebagaimana mereka mampu mencapai kepuasan dan komitmen pengikut atas kelompok ataupun organisasi. Matriks pendekatan Kepemimpinan Transformasional dan Transaksional tampak sebagai berikut: [17]
      Gambar 13 Matriks Gaya Kepemimpinan Transformasional versi Bass and Riggio
      Kepemimpinan Transformasional punya sejumlah komponen sebagai berikut:
      1.  Pengaruh yang Diidealkan (Idealized Influence) – Pemimpin transformasional berperilaku dengan cara yang memungkinkan mereka dianggap sebagai model ideal bagi pengikutnya. Pemimpin dikagumi, dihargai, dan dipercayai. Pengikut mengidentifikasi diri mereka dengan pemimpin dan ingin menirunya. Pemimpin dipandang pengikutnya punya kemampuan, daya tahan, dan faktor penentu yang luar biasa.
      Item pertanyaan untuk mengukur Idealized Influence adalah “Pemimpin menenkankan pentingnya seluruh kelompok punya misi bersama” atau “Pemimpin memberi keyakinan bahwa hambatan pasti bisa dilalui.”
      2. Motivasi yang Inspiratif (Inspirational Motivation)-  Pemimpin transformasional berperilaku dengan cara yang mampu memotivasi dan menginspirasi orang-orang yang ada di sekeliling mereka dengan memberi makna dan tantangan atas kerja yang dilakukan oleh para pengikutnya. Semangat tim meningkat. Antusiasme dan optimisme ditunjukkan.
      Idealized Influence dan Inspirational Motivational secara bersama-sama membentuk Faktor kepemimpinan Karismatik-Inspirational yang serupa dengan kepemimpinan seperti dimaksud teori kepemimpinan karismatik. Contoh item pertanyaan guna mengukur Inspirational Motivation adalah “Pemimpin mampu menjelaskan visi yang harus dicapai di masa mendatang.”
      3. Stimulasi Intelektual (Intellectual Stimulation) – Pemimpin transformasional merangsang usaha pengikutnya untuk kreatif dan inovatif dengan mempertanyakan anggapan dasar (asumsi), memetakan masalah, dan memperbaharui pendekatan-pendekatan lama. Kreativitas kemudian terbentuk. Pengikut jadi berani mencoba pendekatan-pendekatan baru dan gagasan mereka tidak dikritik karena beda dengan gagasan pemimpin.
      Contoh item pertanyaan guna mengukur Intellectual Stimulation adalah “Pemimpin membuat bawahan mampu melihat persoalan dari aneka sudut pandang.”
      4. Pertimbangan Individual (Individualized Consideration) – Pemimpin transformasional memberi perhatian khusus atas kebutuhan setiap pengikut dalam rangka mencapai prestasi dan perkembangan dengan bertindak sekaligus pelatih dan pembimbing.  Pengikut dan para kolega mampu mencapai potensi tertinggi mereka. Pertimbangan individual diterapkan tatkala satu kesempatan belajar baru diciptakan bersamaan dengan iklim yang mendukung. Perbedaan kebutuhan dan hasrat individual diakui. Pemimpin menunjukkan penerimaan atas perbedaan individual tersebut.
      Contoh item pertanyaan untuk Individualized Consideration adalah “Pemimpin meluangkan waktu untuk melatih dan mengajar tim kerjanya.”
      Seperti telah disebutkan sebelumnya, lawan dari kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional muncul tatkala reward ataupunishment dilakukan oleh pemimpin atas pengikut akibat kinerja yang terakhir (pengikut). Kepemimpinan transaksional bergantung pada penguatan terus-menerus, baik rewardberlanjut yang bersifat positif (CR/Contingent Reward) atau bentuk aktif atau pasif dari manajemen dengan pengecualian (management-by-exception) (MBE-A atau MBE-P).
      Komponen dalam kepemimpinan transaksional sebagai berikut:
      1.  Contingent Reward (CR). Transaksi konstruktif ini terbukti efektif dalam memotivasi orang lain untuk mencapai kinerja tertinggi mereka, kendati tidak sebesar komponen kepemimipinan transformasional. Kepemimpinan Contingent Reward melibatkan pemberian pekerjaan oleh pemimpin atau menambah persetujuan pengikut atas kebutuhan apa yang harus dituntaskan dengan janji atau reward aktual yang ditawarkan dalam pertukarannya dengan derajat kepuasan yang muncul dari pekerjaan tersebut.
      Contoh item untuk mengukur Contingent Reward adalah “Pemimpin menjelaskan apa yang orang bisa peroleh jika tujuan dari kinerja dicapai.”
      2.  Management-by-Exception (MBE). MBE terdiri atas Management-by-Exception Aktif (MBE-A) dan Management-by-Exception Pasif (MBE-P). Dalam MBE-A, pemimpin secara aktif merancang perangkat guna memantau penyelewengan dari standard, kesalahan, dan error yang ditunjukkan oleh pengikut untuk selanjutnya dilakukan langkah-langkah perbaikan. Dalam MBE-P, pemimpin secara pasif menunggu terjadinya penyelewengan, kesalahan, dan error untuk muncul terlebih dahulu baru kemudian mengambil langkah perbaikan. MBE-A efektif untuk dilakukan dalam situasi pekerjaan yang penuh bahaya. MBE-P efektif untuk dilakukan tatkala pemimpin membawahi pengikut yang cukup banyak dan mereka melakukan pelaporan kepadanya. Contoh item MBE-A adalah “Pemimpin mengarahkan perhatian agar kesalahan yang terjadi diperbaiki hingga sesuai dengan yang diharapkan.”
      Contoh item MBE-P adalah “Pemimpin tidak mengambil tindakan hingga keluhan diterima oleh mereka.”
      3.   Laissez-Faire Leadership (LF). Kepemimpinan Laissez-Faire adalah penghindaran atau ketiadaan kepemimpinan, dan merupakan kepemimpinan yang paling tidak efektif. JIka dibandingkan dengan kepemimpinan transaksional, laisses-faire tidak menunjukkan transaksi sama sekali. Keputusan-keputusan yang diperlukan tidak dibuat. Tindakan ditunda.  Wewenang kepemimpinan diabaikan. Otoritas tidak digunakan.
      Sampel dari item laissez-faire adalah “Pemimpin menghindari keterlibatan dirinya tatkala muncul masalah penting.”
      Bagan Lengkap item pertanyaan untuk kepemimpinan transformasional dan transaksional sebagai berikut:[18]
      Tabel 9 Kuesioner Kepemimpinan Transformasional versi Bass and Riggio

      SKALA
      ITEM PERTANYAAN
      Tranformasional

      Idealized-Influence (Attibuted Charisma)
      Pemimpin menanamkan kebanggaan pada diri saya karena saya bergabung dengan mereka.
      Idealized-Influence (Perilaku)
      Pemimpin merinci pentingnya memiliki tujuan dalam bekerja.
      Inspirational Motivation
      Pemimpin menyatakan visi-visi yang menarik di masa depan.
      Intellectual Stimulation
      Pemimpin selalu mengupayakan cara pandang yang berbeda dalam menyelesaikan masalah.
      Individual Consideration
      Pemimpin kerap meluangkan waktu untuk mengajari dan melatih bawahannya.
      Transaksional

      Contingent Reward
      Pemimpin jelas membedakan apa yang akan saya peroleh lewat kinerja tertentu.
      Management-By-Exception Aktif
      Pemimpin fokus pada ketidakteraturan, kesalahan, pengecualian, dan penyimpangan atas standar kerja.
      Management-By-Exception Pasif
      Pemimpin menunjukkan bahwa ia yakin bahwa kalau tidak ada masalah, jangan mengutak-kutik sesuatu.
      Laissez-Faire
      Pemimpin kerap menunda tanggapan atas masalah atau permintaan penting.
      Pendekatan Kepemimpinan Otentik
      Kepemimpinan otentik terdapat dalam tulisan Bruce J. Avolio and Fred Luthans.[19] Avolioand Luthans mendefinisikan kepemimpinan otentik sebagai “proses kepemimpinan yang dihasilkan dari perpaduan antara kapasitas psikologis individu dengan konteks organisasi yang terbangun baik, sehingga mampu menghasilkan perilaku yang tinggi kadar kewaspadaan dan kemampuannya dalam mengendalikan diri, sekaligus mendorong pengembangan diri secara positif.”[20]
      Kepemimpinan otentik memiliki empatkomponen, yaitu: (1) Kewaspadaan Diri; (2) Perspektif Moral yang Terinternalisasi; (3) Pengelolaan Berimbang; dan (4) Transparansi Hubungan. [21]
      Kewaspadaan Diri. Meningkatnya kewaspadaan diri adalah faktor perkembangan penting bagi pemimpin otentik. Lewat refleksi, pemimpin otentik dapat mencapai derajat yang jelas seputar nilai-nilai inti yang mereka anut, identitas, emosi, dan motivasi atau tujuannya. Dengan mengenali diri sendiri, pemimpin otentik memiliki pemahaman yang kuat seputar kediriannya sehingga menjadi pedoman mereka baik dalam setiap proses pengambilan keputusan maupun dalam perilaku kesehariannya.
      Kewaspadaan diri digambarkan pula sebagai memiliki kewaspadaan atas, dan keyakinan dalam, motif, perasaan, hasrat, dan pengetahuan diri relevan lainnya. Kewaspadaan diri juga melibatkan kesadaran akan kekuatan diri, kelemahan diri, sebagai unsur-unsur yang saling bertolak belakang yang ada pada setiap manusia. Kewaspadaan diri adalah proses yang berlangsung selama refleksi seorang pemimpin atas nilai, identitas, emosi, dan motivasi serta tujuannya yang unik. 
      Nilai. Pemimpin otentik akan melawan setiap tuntutan situasional serta sosial yang dianggap mencoba melemahkan nilai-nilai yang mereka miliki. Nilai-nilai ini bisa didefinisikan sebagai “konsepsi yang diinginkan seorang aktor sosial – pemimpin organisasi, pembuat kebijakan, individu – yang membimbing cara mereka dalam memilih tindakan, menilai orang dan peristiwa, serta menjelaskan tindakan dan evaluasinya tersebut. 
      Nilai juga menyediakan dasar bagi tindakan pemimpin dalam upaya penyesuai mereka atas kebutuhan komunitas yang mereka pimpin ataupun unit organisasi mereka secara khusus. Nilai dipelajari lewat proses sosialisasi. Sejak terinternalisasi, nilai tersebut menjadi bagian integral dari sistem kedirian seseorang. Sehubungan dengan pemberian pengaruh pemimpin pada pengikut, nilai tersebut tidak bisa dikompromikan dan akan mereka transfer.
      Identitas. Identitas adalah teori yang mencoba untuk menggambarkan, menghubungkan, dan menjelaskan sifat, karakter, dan pengalaman individu. Dua tipe identitas yang didiskusikan dalam konteks kepempinan otentik adalah : (1) identitas personal, dan (2) identitas sosial. 
      Identitas personal adalah kategorisasi diri yang didasarkan pada karakteristik unik seseorang – termasuk sifat dan atributnya – yang membedakan satu individu dengan individu lainnya. Identitas sosial adalah identitas yang didasarkan atas sejauh mana individu mengklasifikasikan dirinya selaku anggota dari suatu kelompok sosial tertentu, termasuk kekuatan emosi dan nilai yang terbentuk terkait dengan keanggotaan tersebut. 
      Identitas personal dan sosial saling berhubungan satu sama lain sebagai hasil refleksi seseorang atas dirinya sendiri serta interaksinya dengan orang lain. Pemimpin otentikmemahami identitas personal dan sosial ini secara jelas dan selalu mewaspadainya.
      Emosi. Pemimpin otentik juga memiliki kewaspadaan diri yang bersifat emosional. Semakin tinggi kecerdasan emosional seseorang, semakin waspada mereka atas emosi tersebut sehingga dapat memahami pengaruhnya  atas proses kognitif dan kemampuan pembuatan keputusannya. Kesadaran diri seputar dimensi emosi seseorang merupakan prediktor kunci untuk membangun kepemimpinaan yang efektif.
      Motivasi/Tujuan. Pemimpin otentik berorientasi pada masa depan. Mereka secara terus-menerus berupaya mengembangkan baik dirinya maupun para pengikutnya. Tindakan pemimpin otentik diarahkan oleh motif-motif untuk menyempurnakan dirinya. Mereka cenderung aktif mencari feedback yang akurat dari para stakeholder (pengikut, teman, mentor, pelanggan) tidak hanya untuk mengkonfirmasi pandangan pribadi mereka sendiri, tetapi juga guna mengenali diskrepansinya (kesenjangannya) antara kondisi nyata dengan pandangan pribadinya. 
      Perspektif Moral yang Terinternalisasi. Perspektif moral yang terinternalisasi menggambarkan proses pengaturan diri sendiri di mana pemimpin cenderung meresapkan nilai-nilai mereka kepada maksud juga tindakan mereka. Pemimpin otentik akan melawan setiap tekanan eksternal yang berlawanan dengan standar moral yang mereka pegang melalui proses regulasi internal di dalam diri mereka, yang memastikan bahwa nilai-nilai mereka tetap selaras dengan tindakan yang mereka ambil. Dengan meresapkan nilai ke dalam tindakan serta bertindak menurut kesejatian diri sendiri, pemimpin otentikmenunjukkan konsistensi antara apa yang mereka katakan dengan apa yang mereka lakukan.
      Pengelolaan Berimbang. Pengelolaan berimbang juga kerap dirujuk sebagai pengelolaan yang tidak memihak. Terhadap informasi negatif dan positif, pemimpin otentik mampu mendengar, menafsir, dan memprosesnya dengan cara yang obyektif. Proses ini mereka lakukan sebelum mengambil keputusan dan tindakan. Proses ini meliputi pengevaluasian kata-kata dan tindakan mereka sendiri secara obyektif tanpa mengabaikan atau menyimpangkan sesuatu yang ada, termasuk interpretasi seputar gaya kepemimpinannya sendiri. Pengelolaan berimbang juga berhubungan dengan karakter dan integritas seorang pemimpin.
      Transparansi Hubungan. Pemimpin otentik tidak cukup hanya memiliki kewaspadaan diri, selaras antara tindakan dengan nilai, dan obyektif dalam menafsir, tetapi seorangpemimpin otentik juga harus mampu mengkomunikasikan informasi dengan cara terbuka dan jujur dengan orang lain lewat pengungkapan diri sendiri yang cenderung bisa dipercaya. 
      Sulit untuk waspada dan tidak memihak apabila sudah diperhadapkan dengan kelemahan diri sendiri. Namun, adalah lebih sulit lagi untuk mengekspos kelemahan tersebut pada orang lain di dalam organisasi. Kendati begitu, menjadi terbuka dengan perasaan, motif, dan kecenderungan orang lain akan membangun kepercayaan dan perasaan stabil, menguatkan kerjasama dan semangat kerja di dalam tim yang mereka pimpin. Pemimpin yang menunjukkan transparansi hubungan akan dianggap sebagai pemimpin yang lebih sejati dan lebih otentik
      Pendekatan Kepemimpinan Tim
      Tim adalah kelompok di dalam organisasi yang anggota-anggotanya saling bergantung satu sama lain, saling berbagi tujuan bersama, dan dicirikan oleh adanya satu orang yang mengkoordinasikan kegiatan bersama mereka. Koordinasi tersebut dilakukan demi mencapai tujuan bersama. Contoh dari sebuah tim adalah tim manajemen proyek, gugus tugas, unit-unit kerja, atau tim pengembang organisasi. 
      Di dalam tim, fungsi utama kepemimpinan adalah berupaya mencapai tujuan organisasi (tim) secara kolektif, bukan individual. Tim umumnya memiliki seorang pemimpin yang telah ditentukan. Pemimpin tersebut dapat berasal dari dalam tim itu sendiri maupun dari luar. 
      Peran kepemimpinan di dalam tim dapat saja dirotasi sehingga mungkin saja diisi oleh para anggota lain antarwaktu. Peran kepemimpinan di dalam tim juga bisa disebar di antara sejumlah anggota tim tanpa harus ditentukan seorang pemimpin secara formal. Kepemimpinan yang tersebar tersebut umum ditemukan dalam kepemimpinan tim. Posisi kepemimpinan dalam tim tidak lagi bercorak satu pemimpin formal selaku pemegang tanggung jawab utama melainkan jatuh ke tangan beberapa orang yang berpengalaman di dalam tim.[22]
      Model kepemimpinan tim dicontohkan sebagai berikut:[23]
      Gambar 14 Model Kepemimpinan Tim versi Hill

      Kepemimpinan di dalam tim umumnya digariskan ke daftar serangkaian keputusan utama yaitu sejumlah kondisi yang menentukan kapan dan bagaimana seorang pemimpin baru ikut campur guna meningkatkan fungsi tim. Pertimbangan pertama apakah lebih baik meneruskan pengamatan dan memonitoring tim ataukah mengintervensi kegiatan tim dengan mengambil tindakan. Pertimbangan kedua, apakah intervesi yang dilakukan lebih kepada tugas yang tengah dilaksanakan ataukah dalam konteks hubungan yang dengan anggota tim lain. Pertimbangan ketiga apakah intervensi sebaiknya dilakukan pada tingkat internal (di dalam tim itu sendiri) atau eksternal (di lingkungan sekeliling tim).
      Tindakan yang juga umum diambil dalam kepemimpinan tim terbagi menjadi dua: Internal dan eksternal. Tindakan internal artinya adalah tindakan yang dilakukan di dalam tim itu sendiri, yang terdiri atas tugas dan hubungan. Tindakan eksternal artinya tindakan dilakukan pada lingkungan sekeliling tim.
      Tindakan kepemimpinan dalam tugas internal terdiri atas model yang merinci serangkaianskill atau tindakan yang dilakukan pemimpin untuk meningkatkan kinerjanya, yaitu :
      • Fokus pada tujuan (menjelaskan, memperoleh persetujuan)
      • Merinci hasil (perencanaan, pemvisian, pengorganisasian, penjelasan peran, dan pendelegasian wewenang)
      • Pemfasilitasian proses pembuatan keputusan (penginformasian, pengendalian, pengkoordinasian, pemediasian, pensintesisan, dan pemfokusan pada masalah)
      • Pelatihan anggota tim sehubungan keahlian yang dibutuhkan dalam pekerjaannya (pendidikan, pengembangan)
      • Pemeliharaan standar prima (penilaian tim dan kinerja individual, pembahasan kinerja yang tidak sesuai)
      Tindakan hubungan dalam konteks internal dibutuhkan untuk meningkatkan skillinterpersonal anggota tim sekaligus hubungan yang terjalin di dalam tim. Tindakan dalam konteks ini terdiri atas:[24]
      • Pelatihan untuk meningkatkan skill interpersonal
      • Penguatan kerjasama di antara anggota tim
      • Pengelolaan konflik agar konflik tetap ada di tataran intelektual, bukan pribadi.
      • Penguatan komitmen tim.
      • Pemuasan kepercayaan dan dukungan yang dibutuhkan oleh anggota tim
      • Bertindakan fair dan konsisten dalam perilaku-perilaku yang bersifat prinsipil.

      Tindakan kepemimpinan eksternal adalah tindakan yang dibutuhkan untuk menjaga tim agar terlindung dari dampak lingkungan eksternal, tetapi di saat sama, mempertahankan hubungan tim dengan lingkungan eksternal. Termasuk ke dalam tindakan ini adalah:[25]
      • Memperoleh akses atas informasi demi membangun aliansi eksternal;
      • Membantu tim yang telah terkena pengaruh lingkungan ;
      • Bernegosiasi dengan manajemen senior seputar pengakuan, dukungan, dan sumberdaya yang perlu bagi kelangsungan tim;
      • Perlindungan anggota tim dari penetrasi lingkungan internal organisasi maupun eksternal organisasi;
      • Melakukan pengujian atas indikator efektivitas yang berasal dari lingkungan eksternal, misalnya survey kepuasan pelanggan; dan
      • Menyediakan informasi dari luar yang dibutuhkan oleh anggota tim.
      Efektivitas tim terdiri atas dua dimensi yaitu : (1) kinerja tim dan (2) pengembangan tim. Kinerja tim mengaju pada seberapa baik kualitas tugas yang mampu dicapaioleh tim. Pengembangan tim mengacu pada seberapa baik tim tetap terpelihara sehubungan dengan pencapaian tugas-tugas tim. Sejumlah peneliti menganjurkan kriteria penilaian efektivitas tim, misalnya yang seperti ditawarkan Carl E. Frank M. J. LaFasto tahun 1989, yaitu:[26]
      • Apakah tim punya tujuan yang spesifik, masuk akal, dan disampaikan secara jelas?
      • Apakah tim memiliki struktur pencapaian hasil?
      • Apakah para anggota tim memenuhi syarat?
      • Adakah kesatuan dalam tim yang didasarkan pada komitmen atas tujuan tim?
      • Adakah iklim kerjasama diantara anggota tim?
      • Adakah standar prima yang membimbing tim?
      • Adakah dukungan eksternal serta pengakuan bagi tim?
      • Adakah kepemimpinan tim yang efektif?
      Pendekatan Psikodinamik
      Pendekatan psikodinamik dalam kepemimpinan dibangun berdasarkan dua asumsi dasar.[27] Pertama, karakteristik personal individu sesungguhnya telah tertanam jauh di dalam kepribadiannya sehingga sulit untuk diubah walaupun dengan aneka cara. Kuncinya adalah pengikut harus menerima secara legowo karakteristik seorang pemimpin, memahami dampak kepribadiannya tersebut diri mereka, dan menerima keistimewaan dan faktor ideosinkretik yang melekat pada seorang pemimpin. Kedua, invididu memiliki sejumlah motif dan perasaan yang berada di bawah alam sadarnya. Motif dan perasaan ini tidak mereka sadari. Sebab itu, perilaku individu tidak hanya merupakan hasil dari tindakan dan respon yang bisa diamati, melainkan juga residu emosi dari pengalaman sebelumnya yang telah mengendap sekian lama di alam bawah sadarnya. 
      Pendekatan psikodinamik berakar dari karya psikoanalisis Sigmund tahun 1938. Freud berusaha membantu masalah para pasiennya yang tidak berhasil ditangani oleh metode-metode konvensional. Metode yang ia gunakan adalah menghipnotis pasien guna menyingkap alam bawah sadanya. Kajian Freud lalu dilanjutkan muridnya, Carl Gustave Jung. Kajian psikoanalitis Frued dan Jung inilah yang kemudian mendasari pendekatan psikodinamika dalam kepemimpinan.
      Carl Gustav Jung kemudian mengembangkan alat ukur yang menjadi dasar pengukuran Kepemimpinan Psikodinamik. Alat ukur tersebut dikembangkan berdasarkan 4 dimensi.Pertama, menekankan pada kemana individu mencurahkan energinya (internal ataupun eksternal). Kedua, melibatkan cara orang mengumpulkan informasi (secara zakelijkataupun lebih intuitif dan acak). Ketiga, cara individu membuat keputusan (apakah rasional-faktual ataukah subyektif-personal). Keempat, menekankan pada perbedaan antarindividu, antara yang terencana dengan yang spontan.
      Berdasarkan keempat dimensi tersebut, Jung kemudian membuat empat klasifikasi yang menjadi dasar kategorisasi kepemimpinan psikodinamik yaitu: (1) Ekstraversi versusintroversi, meliputi kemana individu cenderung mencurahkan energinya, kepada aspek internal ataukah eksternal; (2) Sensing versus intuiting, meliputi apakah individu cenderung mengumpulkan informasi secara empirik ataukah intuitif; (3) Thinking versusfeeling, yang meliputi kecenderungan individu untuk membuat keputusan secara rasional atau subyektif; (4) Judging versus perceiving, meliputi kecenderungan individu untuk hidup secara tertata/terencana ataukan spontan. Berdasarkan keempat modelnya ini, Jung mampu membuat 16 kombinasi. 
      Ekstraversi dan Introversi. Ektraversi adalah kecenderungan individu untuk mengumpulkan informasi, inspirasi, dan energi dari luar dirinya. Salah satu ciri individuekstrovert adalah mereka bicara banyak hal. Orang seperti ini suka berhubungan dengan orang lain dan memiliki kecenderungan bertindak. Mereka terkesan bersemangat dan disukai dalam pergaulan sosial. 
      Sebaliknya, individiu introvert cenderung menggunakan gagasan dan pemikirannya sendiri dalam mengumpulkan informasi tanpa terlalu membutuhkan rangsangan eksternal. Individu seperti pun cenderung mendengar ketimbang berbicara. Mereka mampu mengumpulkan informasi baik melalui kegiatan membaca ataupun menonton televisi. Ciri utama introversi adalah kebutuhannya untuk menyendiri agar mampu berpikir serta memulihkan diri.
      Sensing dan Intuition. Dimensi sensing dan intuition berkait dengan kegiatan invididu dalam memperoleh informasi. Sensor mengumpulkan data lewat perasa (sensing), dan pemikiran mereka berkisar di sekitar masalah praktis dan faktual. Individu kategori sensingcenderung menyukai rincian serta melibatkan diri di dalam dunia praktis. Mereka lebih memperhatikan segala apa yang bisa mereka lihat, dengar, sentuh, bau, dan rasakan. Ketepatan dan akurasi adalah kesukaan utama orang yang berdimensi sensing
      Tipe Intuition adalah orang yang intuitif. Mereka cenderung konseptual dan teoretis. Pengalaman praktis dalam kehidupan sehari-hari justru membosankan mereka. Mereka lebih menyukai kegiatan pemikiran yang kreatif, berpikir tentang masa depan, serta melakukan hal-hal yang tidak umum saat menyelesaikan suatu masalah. Dalam mengumpulkan informasi, tipe intuition mencari segala keterhubungan dan mengkaji hipotesis-hipotesis; mereka cenderung menggunakan kerangka teoretis dalam memahami dan memperoleh data. 
      Thinking dan Feeling. Setelah memperoleh informasi, individu perlu membuat keputusan berdasarkan data dan fakta yang mereka miliki. Terdapat dua cara dalam membuat keputusan, yaitu dengan thinking dan feeling. Individu yang masuk kategori thinkingcenderung menggunakan logika, menjaga obyektivitas, dan berpikir secara analitis. Dalam melakukan kegiatan ini, mereka cenderung tidak melibatkan diri ataupun terkesan terpisah dengan orang lain. Mereka lebih suka membuat keputusan secara terukur. 
      Kebalikan dari thingking adalah feeling. Tipe ini cenderung subyektif, mencari harmoni dengan orang lain, serta lebih memperhatikan perasaan orang lain. Individu tipe ini pun cenderung lebih terlibat dengan orang lain baik di dalam lingkup pekerjaan, serta umumnya dianggap sebagai individu yang bijaksana atau manusiawi. 
      Judging dan Perceiving. Tipe judger cenderung menyukai sesuatu yang terstruktur, terencana, terjadual, dan hal-hal yang solutif (menyelesaikan permasalahan). Mereka lebih menyukai kepastian dan cenderung bertindak secara step-by-step. Sebab itu, tipe ini merasa yakin pada metodenya ketika bertindak. Sebaliknya, perceiver cenderung lebih fleksibel, adaptif, tentatif, dan terbuka. Mereka ini lebih spontan. Perceiver menghindarideadline yang serius dan bisa mengubah pikiran ataupun keputusannya sendiri hampir tanpa kesulitan. Tabel kelebihan dan kekurangan dari dimensi Jung sebagai berikut:
      Tabel 10 Pilihan Psikologis dan Kepemimpinan versi Stech 2010
      Tipe Pemimpin
      Kelebihan Pemimpin
      Kekurangan Kekurangan
      Thinker
      Obyektif
      Rasional
      Penuntas masalah
      Kritis
      Penuntut
      Tidak sensitif
      Feeler
      Empatik
      Kooperatif
      Loyal/Setia
      Tidak tegas
      Berubah-ubah
      Ekstravert
      Bersemangat
      Komunikatif
      Terbuka
      Kebanyakan ngomong
      Ceroboh
      Introvert
      Pendiam
      Reflektif
      Pemikir
      Lambat memutuskan
      Ragu-ragu
      Intuitor
      Pemikir strategis
      Berorientasi masa depan
      Samar-samar
      Tidak rinci
      Sensor
      Praktis
      Berorientasi tindakan
      Tidak imajinatif
      Cenderung rincian
      Judger
      Tegas
      Ketat pada rencana
      Kaku
      Tidak fleksibel
      Perceiver
      Fleksibel
      Penasaran
      Informal
      Berantakan
      Tidak fokus
      Kuesioner yang populer untuk mengukur keempat dimensi Jung tersebut adalah yang dikembangkan Myers dan Briggs yang disebut MBTI (Myers-Briggs Typhology Inventory). 
      Kajian formal atas pendekatan psikodinamika dalam kepemimpinan dilakukan seorang profesor manajemen di Harvard University, Abraham Zaleznik, tahun 1977. Zaleznik banyak menggunakan data dari para pemimpin karismatik. Pada masa yang kemudian, Michael Maccoby mulai mengembangkan pendekatan psikodinamik, yang memadukan antara bidang antropologi dengan pelatihan psikoanalitik. Akhirnya, pada tahun 2003, Maccoby berhasil mengembangkan apa yang kemudian dikenal sebagai tipe pemimpin bercorak narsistik produktif sebagai kategori pemimpinan yang visioner. Pendekatan psikodinamik ini juga menganggap bahwa gaya kepemimpinan seseorang dipengaruhi oleh latar belakang keluarga dan polesan-polesan psikologis.

      [1] Stephen P. Robbins, Essentials of Organization Behavior, 7th Edition (New Jersey : Pearson Education, Inc., 2003), p.130.
      [2] Laurie J. Mullins,Management and Organisational Behavior, 7thEdition, (Essex: Pearson Education Limited, 2005), p.282.
      [3] Robert N. Lussier and Christopher F. Achua, Leadership : Theory, Application, and Skill Development, 4th Edition (Mason, Ohio : South-Western Cengage Learning, 2010)  p.6.
      [4] Gary Yukl, Leadership in Organizations, Sixth Edition (Delhi : Dorling Kindersley, 2009) p.26.
      [5] Peter G. Northouse, Leadership : Theory and Practice, Fifth Edition (Thousand Oaks, California : SAGE Publication, 2010) p.3. Sebelum muncul footnote baru, materi ini masih mengikut pendapat Northouse.
      [6] Don Hellriegel and John W. Slocum, Organizational Behavior, 11th Edition (Mason, Ohio : Thomson Higher Education, 2007) p. 219.
      [7] Peter G. Northouse, Leadership ..., op.cit., p.71
      [8] W. Glenn Rowe and Laura Guerrero, Cases in Leadership, Second Edition (Thousand Oaks, California : SAGE Publications, Inc., 2010) p.101-3.
      [9] Gambar diambil dari Peter G. Northhouse, op.cit., p. 74.
      [10] W. Glenn Rowe and Laura Guerrero, op.cit., p. 101.
      [11] Diambil dari Don Hellriegel and John W. Slocum, Organizational ..., op.cit., p. 222.
      [12] Laurie J. Mulllins, op.cit.,  p.295-99.
      [13] Laurie J. Mullins, op.cit.
      [14] Peter Guy Northouse, op.cit., p.147-56. Sebelum diseling footnote lain, penjelasan menginduk pada bahasan Northouse.
      [15] Richard L. Daft, The Leadership Experience, 4th Edition (Mason, Ohio : Thomson Learning Education,  2008) p. p.55.
      [16] Bernard M. Bass and Ronald E. Riggio, Transformational Leadership, 2nd Edition (Mahwah, New Jersey : Lawrence Erlbaum Associates, Inc., 2008)  p.1-16.
      [17]Bernard M. Bass and Ronald E. Riggio, Transformational..., op.cit., p.10
      [18] Bernard M. Bass and Ronald E. Riggio, Transformational..., op.cit.
      [19] Bruce J. Avolio and Fred J. Luthans, The High Impact Leader: Moments Matter in Accelerating Authentic Leadership (New York: McGraw-Hill, 2006) p.2
      [20] Ibid.
      [21] Daina Mazutis, “Authentic Leadership” dalam W. Glenn Rowe and Laura Guerrero, eds., Cases in Leadership (Thousand Oaks, California: SAGE Publications, 2011) p286-7.
      [22] George R. Goethals, eds., et.al.,Encyclopedia of Leadership, (Thousand Oaks: SAGE Publications, 2004) p.1529.
      [23] Susan E. Kogler Hill, “Team Leadership” dalam Peter Guy Northouse, Leadership ...,op.cit., p.244.
      [24] W. Glenn Rowe and Laura Guerrero, Cases in Leadership, (Thousand Oaks, New York: SAGE Publication, 2011) p.314-6.
      [25] Ibid.
      [26] Carl E. Larson and Frank M.J. LaFasto, Teamwork: What Must Go Righ, What Can Go Wrong (Newbury Park, California: SAGE Publications, Inc., 1989)
      [27] Ernest L. Stech, “Psychodynamic Approach” dalam Peter Guy Northouse, Leadership ..., op.cit., p.272-3


      sumber:
      http://manajemenringga.blogspot.com/2012/06/pengertian-kepemimpinan-dalam.html